M |
asih ku ingat betul pertama kali perjumpaan itu. Pagi yang indah. Di sebuah Sekolah Menengah Negri. Kesan pertama kali bertemu biasa saja, bahkan bisa ku bilang begitu hambar. Dia yang slalu bisu membuatku tak menyadari akan hadirnya dalam duniaku. Aku tak tahu bahwa dia memang tak terbiasa berbicara dengan bibirnya. Dia berbicara dengan matanya, juga hatinya. Mata yang suatu saat yang lain mampu memporak-porandakan perasaanku.
Saat-saat awal bertemu dengannya adalah penyesalan tak berujung. Aku menyesal. Kenapa tak menyadari kehadirannya. Seorang pangeran datang dari negeri kesenyapan seperti halnya aku. Sungguh aku menyesal. Bahkan untuk tahu namanya pun aku enggan. Ah, alangkah angkuhnya diriku!
Awalnya ku kira dia salah satu pacar temenku. Dan aku pun hanya berlalu dengan kosong. Tak pernah kusadari matanya yang menelanjangiku diam-diam. Hatinya yang begitu tajam, rupanya telah mengukir indah imajinasi pada prasasti dunianya yang tersembunyi. Kenapa jiwaku tak peka? Bahkan untuk mengetahui perasaannya pun aku harus mendengar dari Doni, sahabat dekatnya. Bukan dari bibirnya sendiri. Tapi aku yakin, telah begitu lama dia mengungkapkan perasaannya lewat hatinya yang berteriak menggebu. Sore itu, saat surya mulai merunduk malu. Seperti halnya wajahku yang kemerahan mendengar keterangan Doni.
“Ya', ujian tinggal seminggu lagi itu berarati waktu kalian tinggal sebentar”
“Aku tak mengerti maksudmu Don?”
“Ada yang diam-diam suka ma kamu lho…”kata Doni
“Kok diem aja Ya'?”
“Maksudmu?”
“Kau harus belajar peka Lia. Kau terlalu asyik dengan duniamu hingga tak sadar bahwa Ary begitu mengagumimu”
“Ary ??”
“Ya… Lia, lihat teman-temanmu berlomba-lomba menarik perhatiannya, tapi Ary tertarik padamu. Alangkah beruntungnya dirimu Lia”
Doni menatapku, tawanya lebar, ditengah jantungku yang menjadi berubah tak beraturan mendengar keterangannya.
Kenapa Doni harus mengatakan padaku? Membuatku benar-benar berusaha menciptakan kembali wajah lelaki bernama Ary itu pada langit-langit kamarku, pada tembok-tembok rumahku, pada kertas-kertas yang berserakan di lantai, pada langit yang ku lihat di sepanjang jalan, dan menempel kuat-kuat dalam angan dan hatiku. Ary, Ary, Ary. Akibatnya yang fatal adalah ketika aku tak lagi menjadi diriku sendiri. Ingin rasanya ku tertawa ketika tak sengaja mata kami saling berpandangan. Gemuruh dalam jantung yang semakin membuat persendianku lepas. Ah, tapi kenapa dia tak pernah mengatakannya secara langsung padaku? Ary, sampai kapan aku harus terus berharap pada datangnya embun di siang hari?
Ketika di suatu pagi di sekolah. Ujian teakhir tinggal besok pagi. Tapi aku terlambat sekolah pagi ini. Mataku mencari seseorang. Dia juga sedang melihat ke arahku. Tersenyum. Tuhan!!! Aku balas tersenyum. Oh…Ary bicaralah, bicaralah walau satu kata! Ah, bukan satu kata satu huruf pun akan membuatku merasa lega. Tapi hal itu tak kan pernah terjadi anganku terlalu tinggi.
Senyumnya masih ku simpan itulah kekuatanku untuk bisa mengerjakan soal ujian ini. Sesekali ku lirik wajahnya. Alis tebal itu, tubuh itu, rambut panjang sebahu itu, mata itu, mata yang selalu menatapku diam-diam. Semuanya hanya boleh ku nikmati sendiri. Oh, alangkah egoisnya diriku!!! Tuhan!!
Hari ini aku hanya ingin dan berharap dia akan menyapaku. Sekali saja. Karena aku tak yakin besok kami masih bisa bertemu. Apakah ia masih mengagumiku?
Ujian usai. Aku segera keluar dari ruangan, teman-teman sudah keluar dari tadi. Semua menjabat tanganku mengucapkan kata perpisahan dan berharap aku tak melupakan mereka. Ku tebarkan mataku mencari seseorang. Tapi…ku lihat dari kejauhan dia sedang asyik mengobrol dengan sahabatku sendiri. Tidak, Tidak! Ary, Ary hanya milikku! Hatiku berteriak keras.
Lesu! Aku terduduk di kursi kantin. Pandanganku masih ke arahnya. Pangeranku dari negeri kesenyapan. Dia melihatku sambil tersenyum manis. Hendak mendekat rupanya. Tapi tangan sahabatku menahannya dengan manja. Aku menunduk, berusaha tak melihat semuanya. Terlalu perih kebisuan-kebisuan yang selama ini aku rasakan.
“Lia..” aku menoleh. Dia tersenyum beku dalam jantungku
“Boleh aku menemanimu?” aku masih saja diam melihat ke dalam bola matanya yang bening. Ah, kenapa ia begitu indah, Tuhan? Ary tersenyum. Belum sempat ku balas senyumnya dan pertanyaannya. Ketika tiba-tiba…
“Ary, aku minta tolong diantar pulang ya…”
lagi-lagi sahabatku sendiri yang membuatku terluka. Ary masih diam menatapku lembut. Aku berusaha mengalihkan pandangan mataku. Aku tak ingin dia melihat kegelisahanku
“Ayolah, Ary…hari ini aku tak membawa motor sendiri” sahabatku menarik lengan Ary. Mengajaknya berlalu dari hadapanku. Kulihat Ary yang semakin menjauh dariku, menyisakan kekalahan pada sebuah kebisuan yang panjang…
Tuhan. Jika boleh aku memohon. Izinkan aku untuk sekedar mengusap wajahnya. Hanya itu.
hikz :'(
BAGOOOOOOOOOOOSSSSSSSS!!!!!!
BalasHapus4 Jempol langsung!!!,,, kwkkwkwkkw
Lumayan pusitis lho,,, aku malah g bs buat kata2 kayak gt,,, salut dah,,,
trs gmn tu si ari?kwkwkkwkw
jiah.. sma jempol kaki? wkkwkw
BalasHapuskm bisa azti . cm lum nyuba adja :)
hhe.. ary nda tw gmn . . baikNa gmn ya kL dbwdt cLita bersambung . . hhi
he'em kali,, semangaaattt,, smoga bs :)
BalasHapussetuju... dbuat bersambung aja,, ampe 2000 epsod.. kwkwkwk :D
hahah.. ngalahke sinetron putri yang ditukar dong.. wkwkwk
BalasHapusahhahhahah.. he'em,,,
BalasHapus