
Haruskah kami mempunyai perasaan yang terlalu peka, segalanya yang serba ribet dibandingkan dengan kaum lelaki. Haruskah?
Mungkin
ini adalah hukum alam yang sudah mentakdirkan perbedaan yang sangat
signifikan antara dua kaum yaitu Adam dan hawa. Perbedaan yang sangat
mencolok bagai perbandingan antara langit dan bumi.
Saya
sebagai perempuan merasa keberatan atas kepekaan perasaan yang kami
miliki. Entahlah, apakah perempuan lainnya juga merasakan hal yang sama?
Tahukah,
sejujurnya perasaan halus yang kami punya ini sangatlah menyiksa dan
tak jarang membuat kami merasa sendiri dan tak dibutuhkan. Terlalu peka,
terlalu menggunakan perasaan, semuanya serba emosi dan serba tangisan,
sangat tidak terlihat seperti ketegaran kaum lainnya.
Rasa
ingin menjadi wanita tegar pasti ada, namun wujud dari semua itu adalah
nihil. Tak ada wanita manapun yang tak pernah menangis, menangis
meluapkan segala emosinya akibat dari kepekaan perasaan yang ia punya.
Entah itu menangis karena hal sepele sampai hal yang terumit sekalipun.
Tak
jarang, kepekaan perasaan membawa kami pada akhir dunia, menenggelamkan
rasional kami sebagai wanita yang sebenarnya masih mempunyai mindset
dan bisa menjadi sosok tegar layaknya kaum Adam. Perasaan yang terlalu
peka ini membuat kami hanya menjadi sosok di belakang layar bagi sang
suami kelak. Ya walaupun sudah tak sebanyak dulu, tapi, tetap masih ada.
Mungkin,
kami menjadi sosok wanita yang bertitle lemah karena terlalu
berperasaan. Sering dipandang sebelah mata, dianggap tak mampu
menyamakan kedudukan dengan para Adam, dianggap hanya merepotkan,
cengeng dan berlebihan. Itulah beberapa contoh pandangan kaum lain
terhadap kami.
Apakah sebenarnya kami menyalah gunakan kepekaan perasaan yang kami punya?
Apakah kami bersalah atas kepemilikan perasaan sensitif ini?
Ataukah mereka saja yang tak bisa mengerti dengan kepekaan perasaan yang sudah menjadi title kami para wanita?
Apa? Dan siapa yang benar? Siapa yang kemudian salah atas segala kerancuan ini?
Bagaimana kami harus membawa kepekaan perasaan ini agar tak lagi menjadi siksa batin kami?
Apa yang seharusnya kami lakukan agar perasaan ini tak lagi menenggelamkan rasional kami?
Tentu
saja setiap wanita ingin menjadi sosok yang tegar. Tegar untuk dirinya
dan keluarganya. Tak lagi menangis sebagai lambang dari kekecewaan atau
emosi kami. Tak lagi lari dari permasalahan. Tak lagi merasa berada di
akhir dunia ketika semua masalah melebur menjadi satu.
Tolong bawa kami pada kebenaran yang bisa membuat kami benar-benar menggunakan kepekaan perasaan ini dengan baik.