Kamis, 31 Maret 2011

Hati Ibu



Aku melangkah tergesa. Tak sabar agar segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengambang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kaki jenjangku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.
Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi.
Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, menemui ibu.

“Ibu,” panggilku.
Tidak ada jawaban.
“Ibu,” ulangku.

Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, di dapur aku juga tak menemukan ibu. Kutinggalkan dapur lalu masuk kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasur sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan sepasang telingaku mendengar suara ibu dari luar.

“Rani mau hadiah apa?”
“Rani minta dibelikan sepeda motor,” suara Rani, kakakku.
“Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.
“Dengan atau tanpa persetujuan ayah Rani harus punya motor,” Rani ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar. “Ibu, dari mana?” tanyaku.
“Dari Radio Nine. Rani juara satu lomba fashion di Mall Yogyakarta ,” kata ibu dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil menyalami Rani.

“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di tanganku.
“Rara juara dua lomba menulis cerpen antar Propinsi,” kataku.
Ibu diam.
“Boleh di pajang di lemari depan, Bu?”
Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik Rani,” tegas ibu.
Ada perih di ujung hatiku.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di kost Dara, teman serujusanku. Jarak kost Dara hanya beberapa meter dari kampus.
“Sudah bilang sama ibu mau nginap di sini?” tanya Dara.
Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.”
“Jangan bicara seperti itu.”

“Ibu baru ribut kalau Rani yang hilang.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entah,” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Dara. Diam-diam kuseka mataku yang basah.

***

Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.
“Dara, aku minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi,” kataku setelah beberapa hari berselang.
“Aku boleh saja. Tapi kau kasih kabar dulu ke ortu,” sahut Dara..
“Tak perlu, Dara.”

Melihat kerasku Dara tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Rani, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Rani tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Rani. Ketika tiba di rumah Rani disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku berharap itu ibu.
“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Narni, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku bertubi-tubi.

“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa saya baru dihubungi sekarang?” potongku.
“Nomor non Rara tidak bisa dihubungi dari kemarin.”
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu sambungan ditutup aku bergegas ke rumah sakit.

Saat tiba di ruangan icu kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.
“Ibu sakit apa?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.
“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”
“Lalu…” kejarku tak sabar.

Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”
Aku merinding mendengarnya.

***

Ini sudah memasuki pekan kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.
Kugenggam jemari ibu erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.
“Rara,” ucap ibu.

Aku tak yakin pada pendengaranku.
Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu perempuan itu memanggilku. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Rani dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.
“Jangan!” cegah ibu.
Aku berbalik.

“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”
Aku menoleh. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas.
“Ibu tahu kau cemburu pada Rani. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kau meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.

“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Rani,” kata ibu dengan mata bertelaga.
Aku diam saja.
“Jika perhatian ibu lebih besar pada Rani karena menurut ibu Rani tak sekuat kau.”
“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu tak segera menjawab. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya,” ucap ibu diantara isaknya.

Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melerai pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya sedingin es.

***

Hari ini 28 Desember. Hari jadi ibu. Gundukan tanah di depanku masih merah. Kuelus nisan ibu. Mengingat saat-saat terakhir bersama ibu setumpuk cemburuku pada Rani lenyap. Pelan kutengadahkan wajah menatap langit, dalam diam aku berdoa agar langit menjaga ibu dari atas, “Selamat ulang tahun, Bu,” bisikku.

Sabtu, 19 Maret 2011

" JIKA "

jika kamu memancing ikan..
setelah ikan itu terlekat di mata kail..
hendaklah kamu mengambil ikan itu..
jangan sesekali kamu lepaskan ia semula..
ke dalam air begitu saja..
kerana ia akan sakit oleh ketajaman mata kailmu dan mungkin
ia akan menderita selagi ia masih hidup…

begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang..
setelah ia mula menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya..
jangan sesekali kamu meninggalkannya begitu saja..
kerana ia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat
melupakan segalanya selagi ia mengingatmu..

jika kamu menadah air biarlah apa adanya..
jangan terlalu mengharap pada takungannya..
dan janganlah menganggap ia begitu teguh..
cukuplah sekedar keperluanmu..
apabila ia retak..
tentu sukar untuk menambalnya semula..
akhirnya ia dibuang..
sedangkan jika kamu coba membaikinya mungkin ia masih dapat dipergunakan
lagi..

begitu juga jika kamu memiliki seseorang..terimalah seadanya..
janganlah kamu terlalu mengaguminya..
dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa..
anggaplah dia manusia biasa..
apabila sesekali dia melakukan kesalahan, tidak mudah bagi kamu untuk
menerimanya..
akhirnya kamu kecewa dan meninggalkannya..
dan jika kamu memaafkannya..
boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhirnya..

jika kamu memiliki sepiring nasi..
yang pasti baik untuk diri kamu..
mengenyangkan..berkhasiat..
mengapa kamu mencoba mencari makanan yang lain..
terlalu ingin mengejar kelezatan..
kelak nasi itu akan basi dan kamu bisa memakannya..
kamu akan menyesal..

begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang insan..
yang pasti membawa kebaikan kepada dirimu..
menyayangimu..mengasihimu..
mengapa kamu terlalu memilih,mencoba membandingkannya dengan yang lain..
terlalu mengejar kesempurnaan..
kelak kamu akan kehilangannya apabila ia menjadi milik org lain..
kamu juga akan menyesal..

“Bersyukur dengan apa yang dikurniakan olehNya…Alhamdulillah

Rabu, 16 Maret 2011

Warmness on the souL ^^ for my guardian angeL . .

Your hazel green tint eyes watching every move I make
And that feeling of doubt, it’s erased
I’ll never feel alone again with you by my side
You’re the one, and in you I confide

And we have gone through good and bad times
But your unconditional love was always on my mind
You’ve been there from the start for me
And your love’s always been true as can be

I give my heart to you
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you

And we have gone through good and bad times
But your unconditional love was always on my mind
You’ve been there from the start for me
And your love’s always been true as can be

I give my heart to you
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you

Sabtu, 05 Maret 2011

Waktu yang ku bunuh . .

suddah sekian Lama aQ membunuh wagtu
bersama angan iang kian berdebu
Menunggumu..
ya.. hanya untuk menunggumu
Serasa tag akan Lama agy
aQ bisa beRsama denganmu
Tapi.. akh suddah sekian Lama
aQ membunuh wagtu ini
Menunggumu . .
tapi sampe kapan??
nandti? esok? atau Lusa??
ataukah??
hingga wagtu benar benar Q bunuh?
Ku mohon . .
datangLah . .
sebeLum banyak wagtu terkapar . .

Jumat, 04 Maret 2011

pangeranQ ??

M

asih ku ingat betul pertama kali perjumpaan itu. Pagi yang indah. Di sebuah Sekolah Menengah Negri. Kesan pertama kali bertemu biasa saja, bahkan bisa ku bilang begitu hambar. Dia yang slalu bisu membuatku tak menyadari akan hadirnya dalam duniaku. Aku tak tahu bahwa dia memang tak terbiasa berbicara dengan bibirnya. Dia berbicara dengan matanya, juga hatinya. Mata yang suatu saat yang lain mampu memporak-porandakan perasaanku.

Saat-saat awal bertemu dengannya adalah penyesalan tak berujung. Aku menyesal. Kenapa tak menyadari kehadirannya. Seorang pangeran datang dari negeri kesenyapan seperti halnya aku. Sungguh aku menyesal. Bahkan untuk tahu namanya pun aku enggan. Ah, alangkah angkuhnya diriku!

Awalnya ku kira dia salah satu pacar temenku. Dan aku pun hanya berlalu dengan kosong. Tak pernah kusadari matanya yang menelanjangiku diam-diam. Hatinya yang begitu tajam, rupanya telah mengukir indah imajinasi pada prasasti dunianya yang tersembunyi. Kenapa jiwaku tak peka? Bahkan untuk mengetahui perasaannya pun aku harus mendengar dari Doni, sahabat dekatnya. Bukan dari bibirnya sendiri. Tapi aku yakin, telah begitu lama dia mengungkapkan perasaannya lewat hatinya yang berteriak menggebu. Sore itu, saat surya mulai merunduk malu. Seperti halnya wajahku yang kemerahan mendengar keterangan Doni.

“Ya', ujian tinggal seminggu lagi itu berarati waktu kalian tinggal sebentar”

“Aku tak mengerti maksudmu Don?”

“Ada yang diam-diam suka ma kamu lho…”kata Doni

“Kok diem aja Ya'?”

“Maksudmu?”

“Kau harus belajar peka Lia. Kau terlalu asyik dengan duniamu hingga tak sadar bahwa Ary begitu mengagumimu”

“Ary ??”

“Ya… Lia, lihat teman-temanmu berlomba-lomba menarik perhatiannya, tapi Ary tertarik padamu. Alangkah beruntungnya dirimu Lia”

Doni menatapku, tawanya lebar, ditengah jantungku yang menjadi berubah tak beraturan mendengar keterangannya.

Kenapa Doni harus mengatakan padaku? Membuatku benar-benar berusaha menciptakan kembali wajah lelaki bernama Ary itu pada langit-langit kamarku, pada tembok-tembok rumahku, pada kertas-kertas yang berserakan di lantai, pada langit yang ku lihat di sepanjang jalan, dan menempel kuat-kuat dalam angan dan hatiku. Ary, Ary, Ary. Akibatnya yang fatal adalah ketika aku tak lagi menjadi diriku sendiri. Ingin rasanya ku tertawa ketika tak sengaja mata kami saling berpandangan. Gemuruh dalam jantung yang semakin membuat persendianku lepas. Ah, tapi kenapa dia tak pernah mengatakannya secara langsung padaku? Ary, sampai kapan aku harus terus berharap pada datangnya embun di siang hari?

Ketika di suatu pagi di sekolah. Ujian teakhir tinggal besok pagi. Tapi aku terlambat sekolah pagi ini. Mataku mencari seseorang. Dia juga sedang melihat ke arahku. Tersenyum. Tuhan!!! Aku balas tersenyum. Oh…Ary bicaralah, bicaralah walau satu kata! Ah, bukan satu kata satu huruf pun akan membuatku merasa lega. Tapi hal itu tak kan pernah terjadi anganku terlalu tinggi.

Senyumnya masih ku simpan itulah kekuatanku untuk bisa mengerjakan soal ujian ini. Sesekali ku lirik wajahnya. Alis tebal itu, tubuh itu, rambut panjang sebahu itu, mata itu, mata yang selalu menatapku diam-diam. Semuanya hanya boleh ku nikmati sendiri. Oh, alangkah egoisnya diriku!!! Tuhan!!

Hari ini aku hanya ingin dan berharap dia akan menyapaku. Sekali saja. Karena aku tak yakin besok kami masih bisa bertemu. Apakah ia masih mengagumiku?

Ujian usai. Aku segera keluar dari ruangan, teman-teman sudah keluar dari tadi. Semua menjabat tanganku mengucapkan kata perpisahan dan berharap aku tak melupakan mereka. Ku tebarkan mataku mencari seseorang. Tapi…ku lihat dari kejauhan dia sedang asyik mengobrol dengan sahabatku sendiri. Tidak, Tidak! Ary, Ary hanya milikku! Hatiku berteriak keras.

Lesu! Aku terduduk di kursi kantin. Pandanganku masih ke arahnya. Pangeranku dari negeri kesenyapan. Dia melihatku sambil tersenyum manis. Hendak mendekat rupanya. Tapi tangan sahabatku menahannya dengan manja. Aku menunduk, berusaha tak melihat semuanya. Terlalu perih kebisuan-kebisuan yang selama ini aku rasakan.

“Lia..” aku menoleh. Dia tersenyum beku dalam jantungku

“Boleh aku menemanimu?” aku masih saja diam melihat ke dalam bola matanya yang bening. Ah, kenapa ia begitu indah, Tuhan? Ary tersenyum. Belum sempat ku balas senyumnya dan pertanyaannya. Ketika tiba-tiba…

“Ary, aku minta tolong diantar pulang ya…”

lagi-lagi sahabatku sendiri yang membuatku terluka. Ary masih diam menatapku lembut. Aku berusaha mengalihkan pandangan mataku. Aku tak ingin dia melihat kegelisahanku

“Ayolah, Ary…hari ini aku tak membawa motor sendiri” sahabatku menarik lengan Ary. Mengajaknya berlalu dari hadapanku. Kulihat Ary yang semakin menjauh dariku, menyisakan kekalahan pada sebuah kebisuan yang panjang…

Tuhan. Jika boleh aku memohon. Izinkan aku untuk sekedar mengusap wajahnya. Hanya itu.

hikz :'(

Rani

Esuk iki Rani wis siap mangkat sekolah. Kira-kira jam setengah pitu. Rani njaluksangu ibune kanggo jajan neng sekolahan. Nanging ibune mung ngekei bakpao.

"Bakpao iki sikek, Rani. Ibu saiki durung suwe dhuwit kanggo sangu"

Rani mung meneng wae, lambene njaprut. Disaut bintelan putih plastik iki saka tangan ibune kanthi ati kang sajak gela lan kuciwo. Ibune ngelus dada, atine loro, matane kaca-kaca. Arep nangis nanging diampet.

Bali sekolah neng dalan Rani weruh bocah. Ya, kira2 umure pada karo Rani. Bocah mau lungguh ana ing emperan toko kang tokone ora buka. Ujug ujug ana banyu tumetes saka dhuwur saya suwe saya akeh. Lan Rani banjur ngeyup ana ing emperan tolo sing dinggo lungguh bocah mau, bocah mmau mesem, weruh Rani nyedakki dheweke. Rani banjur bales esseme bocah mau,

" Heii, Aku melu ngeyup neng kene yo"

"Mangga"

"Oleh kenalan"

"Rani"

Rani meneng rada suwe. Bocah mau takon "Mbak e asmane sinten?"

"oh.. aku , padha jengen karo koe. Rani"

"Wah jenenge podo J "

Cah loro mau padha cerito2 lan geguyon lan ora sengojo sikile Rani nyenggol sikil bocah iku

"Aduh.."

Rani kaget , "ngopo?"

Didelokake sikile bocah mau. Ya ampun ana luka neng sikile bocah mau.

"Ora popo kok"

"Rani, keneng apa sikilemu?"

"Ora popo mung Luka sithik"

"iyo.. amarga apa?"

" mung ditabrak pit motor"

"ya ampun terus sing nabrak saiki nangdi?"

Bocah iku mesem pait.

"kaboor "

Udan wis rada terang

"Aku bali sikek yo" kandane bocah mau

"Tak terke yaa,, tag tuntun, sikilmu kan isih lara"

Bocah mau mung manthuk.

"Omahmu sebelah ngendi?" pitakone Rani

"Kae, sebelah tengen dalan"

Tekan ngarep omah, Rani banjur takon " ibumu nangdi?"

Bocah mau meneng suwe lan matane nyawang ing dhuwur. Banjur umbar ambegan.

"Aku ra ngerti sopo ibuku"

"trus kowe manggon neng ngomah iki karo sopo?"

"Simbah"

Bocah iku ndelokke buntelan plastik putih kang ketmau dicangking Rani.

"Apa sing tog gowo?"

"Kowe gelem?"

"Apa?"

"bakpao , sanguku sekolah mau nanging ora tak maem"

Rani banjur ngekkeke buntelan mau. Bocah mau maem bakpao iku.

"kowe durung maem"

Bocah mau manthuk

"bakpao iki enak banget, iki bakpao paling enak kang sak suwene iki tak maem"

"kowe seneng" pitakone Rani

Bocah mau manthuk meneh

"Spa kang gawe bakpao iki?" pitakone bocah mau

"ibuki…"

"ibumu? Ehmm.. ibumu tresno banget marang kowe. Aku urung pernah maem bakpao paling enak koyo iki. Ibumu tresno banget ya marang koe"

Rani mung meneng wae. Dheweke kelingan kadadiyan esuk mau. Sawentara cah loro meneng wae.

"Aku bali sikek yo" kandane Rani

"Yaw. Maturnuwun. Ati2 neng dalan yo"

Esuk esuk temen Rani wis tangi lan nyiapke bekal bekal dinggo sekolah. Ibune kang ana pawon nyedakki lan diambung tanganne

"bu, Rani mangkat sekolah nggih"

"iki dhuwitte kanggo sangu Rani. Kanggo jajan neng kantin sekolah. Saiki ibu lagi duwe duit 2000 "

Rani mesem, duitte dibalekke neng tanganne ibune. Rani njupuk bakpao gaweane ibune kang ana meja.

"Dhuwitte kanggo ibu wae. Rani sangu bakpao kok"

Ibune mung meneng wae. Bingung ndelokke perubahan anakke.

"aku tresnoo marang ibu, tresno banget, maturnuwun nggeh bu. Assalamualaikum"

"walaikumussalam"

Tes.. banyu bening tumetes ing pipi ibune. Rasa terharu lan seneng.

"gusti, paringono anakku kapinteran anggone sinau"

Bali sekolah, rani mampir ing ngomahe bocah kang jenenge paha, Rani.

Neng tanganne nyangking bungkusan plastik putih. Rani ngetuk2 lawang nanging isih sepi. Diketuk2 menenh ing njero ana kang watuk watuk lan nyedakii lawang.

Lawang kebukak. Nanging, udu rani bocah kang wingi kuwi maem bakpao gaweane ibu. Nanging simbah. Simbah kang kira kira umurre 85 taun . rambutte wis putih kabeh. Awakke mung kari balung.

"nuwun sewu mbah.. Rani onten?"

Simbah meneng nyawang Rani. Banjur ngomong "Rani, putuku?

"inggih mbah"

"Rani wis mati seminggu kepungkur. Ditabrak pit motor kang ora due ras aperikemanusiaan. Wong kang ngendarai motor iku mlayu seko tanggungjawab."

Rani bingung.. Rani banjur pamit muleh ing ngomahe. Pikirane mung tumuju ing Rani bocah kang wingi kuwi wis nyadarke dhweke.

Ananging ana apa?

Simbah mau ngoming yen Rani sedo seminggu wingi??

Valentine's Day Pumping Heart